Asnah Si Tungkek Tungkek Tak Berkeluh
INDONESIA | Monday, 14 March 2011 | Views [598]
Pariok tabuah kuali sompong
Sabatang
karo batahan iduik
Aku hidup maka aku bisa, itulah
prinsip kehidupan yang terpahat jauh dari manula ini, siapa sangka
tungkek yang selalau ia genggam melantunkan irama pantang menyerah, tak
kalah pialang dengan filosof Descartes, Aku berfikir maka aku ada.
Senja itu, riuk-pikuk
kehidupan pasar memancing rasa penasaranku menyoroti tiap liuk belahan
pabukoan, ragam corak dan aktivitas dagang memang sangat melekat sebagai
simbol masyarakat kota ini, ingatku terseret pada kota asalku, tepatnya
pajak suka ramai yang semakin lekat dengan ajo-ajo medan. Ku tapaki
anak demi anak tangga, sekitarnya sangat unik, ada pedagang di pasar
atas dan di antara anak tangga tersebut bertelekan para amay yang
memengang mangkuk mengharap ada yang memberi rupiah kepadanya. “es
cendol durian….durian” ucap seorang pedanga. Bahkan tiap melangkah masih
saja terdengar suara mereka, menanda suasana pasar di ramaikan pembeli.
Beberapa
meter dari tempat itu, tepatnya jalan sekitar jam gadang, tampak sosok
yang membuat aku terperangah, perawakan yang sangat unik, cukup ntuk
menggetarkan nurani, pemandangan yang tidak dapat dengan mudah di
temukan di sepanjang panopakan.
Asni, ialah yang membuat corak
baru dari aktivitas warga sekitar. Terhening sejenak, aku berfikir pasti
ialah kartininya bukit tinggi yang sangat perkasa, karismatik nan mekar
di antara tandus peradaban sekitarnya. Lihatlah ia, tak pernah
sekali-kali ku lihat amay ini mengangkat tangan nya di antara mereka
yang sedang rehat sekitar putaran jam gadang kecuali membungkukkan
bahunya yang telah renta di sekat-sekat kubangan nafkah bertanda
“buanglah sampah pada tempatnya”, tak banyak yang ia cari di dalam nya,
hanya buangan dari balabiah minuman ataupun kresek dari orang yang
tertarik pada susunan kata itu. Tapi bagi dirinya, mungkin itu lebih
baik dari pada mengharap recehan tiap orang yang lewat di tepi-tepi
trotoar di belakang gedung muhammad hatta.
Bagi asnah, usia 70
tahun dengan berteman tongkat bukanlah alasan untuk mengeluh dan
mengalah pada kerasnya hidup, biai tinggal dimano? Ujar ku mencoba untuk
tahu. “ambo sabatang karo, kaki ambo sakiak” jawabnya. Asnah mencoba
memceritakan keadaan nya yang sebatang kara dengan kondisi kaki yang
sakit, dengan cirik mato yang memutih, jalan nya yang bungkuk dan
tongkat yang terlilit, membuat kita terhenyak dengan kemandiriannya.
Kesedihan
terus melekat padanya, sejak tiga anaknya meninggal ketika masih kecil,
di tambah dengan lara di tinggal suami pergi antah-berantah kemana.
Tampaknya cobaan sangat akrab dengan dirinya, terlebih masalah keluarga.
Kegagalan demi kegagalan telah melingkari hidupnya sebanyak 5 kali.
“Cukup
sekali aku merasa kehilangan cinta” lagu tersebut layak pungguk
merindukan rembulan bagi asnah, itulah sekilas mengenai kisruh dirinya
di dalam rumah tangga.
Saat ini tidak ada pilihan bagi asnah
terkecuali bekerja dan bekerja, apapun di lakoninya hanya untuk batahan
iduik (bertahan hidup). Dalam hati saya berkecamuk, dan bil haq sangat
sulit di dapati sosok asnah-asnah lainnya di belahan dunia ini, seorang
nenek dengan tulang tanpa daging berlapis kulit, dengan kaki sedikit
pincang mampu terus bekerja mencari botol demi botol sisa dahaga anak
adam-hawa, dengan menempuh jarak tiga kilometer berjalan kaki
menari-nari di antara sudut-sudut kota dan lorong lara menilik kotak
infak bernama tong sampah.
Budi di balas budi, pepatah yang telah
menjadi hukum alam, terlebih di lingkungannya. Itulah yang menopang
semangat hidupnya. Dulu, tepatnya 20 tahun silam, asnah merupakan sosok
yang dermawan, walaupun hidupnya mengandalkan jualan kacang abuih dan
kacang goreng, namun ia mampu mengeluarkan sedikit dari tak seberapa
rupiah yang ia dapat dari berjualan untuk anak-anak yang bernasib sama
dengan nya saat ini. Buah dari akhlak siti aisyah yang di amalkannya
saat muda kini dapat ia nikmati juga, karena ia tidak terlantar lagi.
Anak-anak yang dahulu ia tolong kini berlapang hati menerima nya untuk
tinggal bersama, walaupun hanya di wisma orang-orang tak punya namun itu
sedikit membantu hidupnya.
Ketika dzuhur tiba, asnah pun mulai
keluar menepaki surau jalan mencari puing-puing botol minuman plastik
seperti biasanya. Namun, hari ini di dalam plastik kresek biru itu
tampak segumpal jerih payah botol-botol yang di dapatnya, itu menandakan
ia sedang beruntung. Dari hasil itu terkadang ia dapat mengantongi uang
20 ribu, itu pun hasil selama 4 hari berkelana. Namun nasib tidak
selalu seberuntung itu, lebih sering ia telusuri dengan tentengan kresek
yang Cuma berisi 1 botol plastik saja.
Terkadang aku bertanya
lagi, nenek tinggal dimano?. “ambo di usir kaluarga, kalau ambo baduik
ambo di tarima tapi kalau indak ado di usir” ujar nya dengan nada datar.
Dimana kampuang amay? Ku tanya, “di kamang, ambo takuik di lakak”.
Bukanlah asnah tidak punya sanak saudara dan bukan pula ia tak punya
kampung halaman, ia harus pergi karena kampung halaman karena di usir
oleh keluarga nya. Kamang, itulah kampung halaman nya yang lekat dengan
khas makanan lamang, lamang merupakan kue khas daerah kamang, terbuat
dari beras ketan yang di masukkan ke dalam bambu yang di bakar, dan
lamang sangatlah nikmat jika di kawinkan dengan durian. Itulah yang
menjadi alasan keberadaan asnah bertengkeran di sekitar jam gadang dan
itu pula alasan keluarga muslim dan guslaidar dengan 2 anak mau menerima
asnah di rumah kontrakan komplek miskin tua, rumah berukuran kamar
mandi di hotel aku menginap, hotel Pusako.
Meskipun tinggal di
kompleks miskin dan makan dua kali sehari ini, itupun hanya dengan lauk
ikan asin, namun ia tetap bersyukur. Uang hasil jerih payah yang di
dapat terkadang ia sisihkan untuk membantu biaya kontrakan Rp 70 ribu
rupiah per bulan. Tidak ada harapan yang lebih besar yang panjatkan, ia
hanya berharap di dalam sholat nya agar tetap di berikan kesehatan di
usia nya yang renta ini.
Ada
uang abang sayang…..
tak ada uang abang ku tendang..
lirik
lagu inilah yang sedikit banyaknya mirip dengan apa yang di alami
asnah. Itulah ketegaran dari sosok asnah yang di terima keluarga apabila
punya uang dan kerap di usir oleh keluarganya apabila tidak punya uang,
di sela kerinduan pada suaminya Tengku Rajo yang tak kunjung jua datang
menyapa dirinya yang sedang di lipur lara. Ramadhan tahun ini tidak ada
istimewa bagi asnah, karena tidak jua ada sanak keluarga yang
mengunjunginya, hanya saja ramadhan tahun lalu asnah dapat berjalan
dengan baik meskipun dengan tongkat, kini setelah tragedi jatuh dari
bendi di perempatan simpang dewan perwakilan rakyat daerah (DPRD) yang
teletak tidak jauh dari rumah nya, ia terjatuh dan menyebabkan ia
pincang hingga kini.
Kini hidupnya hanya di lalui mulai dari
Jl.Panorama di depan kantor PDAM kompleks rumah tua bertulis Photo Copy
centre Pella Donna sampai hilir sudut kota panabokan. Ketegaran nya
mencerminkan banyak hikmah untuk pantang menyerah menghadapi berbagai
getir nya cobaan hidup dan kondisi sosial, karena kita di ciptakan
tuhan sebagai manusia Luar biasa.
Tags: asnah, gempa sumatera barat, jam gadang, jurnalisme sastrawi, salman hasibuan, sumatera barat