Existing Member?

Setapak Langkah

Asnah Si Tungkek Tungkek Tak Berkeluh

INDONESIA | Monday, 14 March 2011 | Views [572]

Pariok tabuah kuali sompong
Sabatang karo batahan iduik


Aku hidup maka aku bisa, itulah prinsip kehidupan yang terpahat jauh dari manula ini, siapa sangka tungkek yang selalau ia genggam melantunkan irama pantang menyerah, tak kalah pialang dengan filosof Descartes, Aku berfikir maka aku ada.

Senja itu, riuk-pikuk kehidupan pasar memancing rasa penasaranku menyoroti tiap liuk belahan pabukoan, ragam corak dan aktivitas dagang memang sangat melekat sebagai simbol masyarakat kota ini, ingatku terseret pada kota asalku, tepatnya pajak suka ramai yang semakin lekat dengan ajo-ajo medan. Ku tapaki anak demi anak tangga, sekitarnya sangat unik, ada pedagang di pasar atas dan di antara anak tangga tersebut bertelekan para amay yang memengang mangkuk mengharap ada yang memberi rupiah kepadanya. “es cendol durian….durian” ucap seorang pedanga. Bahkan tiap melangkah masih saja terdengar suara mereka, menanda suasana pasar di ramaikan pembeli.

Beberapa meter dari tempat itu, tepatnya jalan sekitar jam gadang, tampak sosok yang membuat aku terperangah, perawakan yang sangat unik, cukup ntuk menggetarkan nurani, pemandangan yang tidak dapat dengan mudah di temukan di sepanjang panopakan.

Asni, ialah yang membuat corak baru dari aktivitas warga sekitar. Terhening sejenak, aku berfikir pasti ialah kartininya bukit tinggi yang sangat perkasa, karismatik nan mekar di antara tandus peradaban sekitarnya. Lihatlah ia, tak pernah sekali-kali ku lihat amay ini mengangkat tangan nya di antara mereka yang sedang rehat sekitar putaran jam gadang kecuali membungkukkan bahunya yang telah renta di sekat-sekat kubangan nafkah bertanda “buanglah sampah pada tempatnya”, tak banyak yang ia cari di dalam nya, hanya buangan dari balabiah minuman ataupun kresek dari orang yang tertarik pada susunan kata itu. Tapi bagi dirinya, mungkin itu lebih baik dari pada mengharap recehan tiap orang yang lewat di tepi-tepi trotoar di belakang gedung muhammad hatta.

Bagi asnah, usia 70 tahun dengan berteman tongkat bukanlah alasan untuk mengeluh dan mengalah pada kerasnya hidup, biai tinggal dimano? Ujar ku mencoba untuk tahu. “ambo sabatang karo, kaki ambo sakiak” jawabnya. Asnah mencoba memceritakan keadaan nya yang sebatang kara dengan kondisi kaki yang sakit, dengan cirik mato yang memutih, jalan nya yang bungkuk dan tongkat yang terlilit, membuat kita terhenyak dengan kemandiriannya.

Kesedihan terus melekat padanya, sejak tiga anaknya meninggal ketika masih kecil, di tambah dengan lara di tinggal suami pergi antah-berantah kemana. Tampaknya cobaan sangat akrab dengan dirinya, terlebih masalah keluarga. Kegagalan demi kegagalan telah melingkari hidupnya sebanyak 5 kali.


“Cukup sekali aku merasa kehilangan cinta” lagu tersebut layak pungguk merindukan rembulan bagi asnah, itulah sekilas mengenai kisruh dirinya di dalam rumah tangga.

Saat ini tidak ada pilihan bagi asnah terkecuali bekerja dan bekerja, apapun di lakoninya hanya untuk batahan iduik (bertahan hidup). Dalam hati saya berkecamuk, dan bil haq sangat sulit di dapati sosok asnah-asnah lainnya di belahan dunia ini, seorang nenek dengan tulang tanpa daging berlapis kulit, dengan kaki sedikit pincang mampu terus bekerja mencari botol demi botol sisa dahaga anak adam-hawa, dengan menempuh jarak tiga kilometer berjalan kaki menari-nari di antara sudut-sudut kota dan lorong lara menilik kotak infak bernama tong sampah.

Budi di balas budi, pepatah yang telah menjadi hukum alam, terlebih di lingkungannya. Itulah yang menopang semangat hidupnya. Dulu, tepatnya 20 tahun silam, asnah merupakan sosok yang dermawan, walaupun hidupnya mengandalkan jualan kacang abuih dan kacang goreng, namun ia mampu mengeluarkan sedikit dari tak seberapa rupiah yang ia dapat dari berjualan untuk anak-anak yang bernasib sama dengan nya saat ini. Buah dari akhlak siti aisyah yang di amalkannya saat muda kini dapat ia nikmati juga, karena ia tidak terlantar lagi. Anak-anak yang dahulu ia tolong kini berlapang hati menerima nya untuk tinggal bersama, walaupun hanya di wisma orang-orang tak punya namun itu sedikit membantu hidupnya.

Ketika dzuhur tiba, asnah pun mulai keluar menepaki surau jalan mencari puing-puing botol minuman plastik seperti biasanya. Namun, hari ini di dalam plastik kresek biru itu tampak segumpal jerih payah botol-botol yang di dapatnya, itu menandakan ia sedang beruntung. Dari hasil itu terkadang ia dapat mengantongi uang 20 ribu, itu pun hasil selama 4 hari berkelana. Namun nasib tidak selalu seberuntung itu, lebih sering ia telusuri dengan tentengan kresek yang Cuma berisi 1 botol plastik saja.

Terkadang aku bertanya lagi, nenek tinggal dimano?. “ambo di usir kaluarga, kalau ambo baduik ambo di tarima tapi kalau indak ado di usir” ujar nya dengan nada datar. Dimana kampuang amay? Ku tanya, “di kamang, ambo takuik di lakak”. Bukanlah asnah tidak punya sanak saudara dan bukan pula ia tak punya kampung halaman, ia harus pergi karena kampung halaman karena di usir oleh keluarga nya. Kamang, itulah kampung halaman nya yang lekat dengan khas makanan lamang, lamang merupakan kue khas daerah kamang, terbuat dari beras ketan yang di masukkan ke dalam bambu yang di bakar, dan lamang sangatlah nikmat jika di kawinkan dengan durian. Itulah yang menjadi alasan keberadaan asnah bertengkeran di sekitar jam gadang dan itu pula alasan keluarga muslim dan guslaidar dengan 2 anak mau menerima asnah di rumah kontrakan komplek miskin tua, rumah berukuran kamar mandi di hotel aku menginap, hotel Pusako.

Meskipun tinggal di kompleks miskin dan makan dua kali sehari ini, itupun hanya dengan lauk ikan asin, namun ia tetap bersyukur. Uang hasil jerih payah yang di dapat terkadang ia sisihkan untuk membantu biaya kontrakan Rp 70 ribu rupiah per bulan. Tidak ada harapan yang lebih besar yang panjatkan, ia hanya berharap di dalam sholat nya agar tetap di berikan kesehatan di usia nya yang renta ini.

Ada uang abang sayang…..
tak ada uang abang ku tendang..

lirik lagu inilah yang sedikit banyaknya mirip dengan apa yang di alami asnah. Itulah ketegaran dari sosok asnah yang di terima keluarga apabila punya uang dan kerap di usir oleh keluarganya apabila tidak punya uang, di sela kerinduan pada suaminya Tengku Rajo yang tak kunjung jua datang menyapa dirinya yang sedang di lipur lara. Ramadhan tahun ini tidak ada istimewa bagi asnah, karena tidak jua ada sanak keluarga yang mengunjunginya, hanya saja ramadhan tahun lalu asnah dapat berjalan dengan baik meskipun dengan tongkat, kini setelah tragedi jatuh dari bendi di perempatan simpang dewan perwakilan rakyat daerah (DPRD) yang teletak tidak jauh dari rumah nya, ia terjatuh dan menyebabkan ia pincang hingga kini.

Kini hidupnya hanya di lalui mulai dari Jl.Panorama di depan kantor PDAM kompleks rumah tua bertulis Photo Copy centre Pella Donna sampai hilir sudut kota panabokan. Ketegaran nya mencerminkan banyak hikmah untuk pantang menyerah menghadapi berbagai getir nya cobaan hidup dan kondisi sosial, karena kita di ciptakan tuhan sebagai manusia Luar biasa.

Tags: asnah, gempa sumatera barat, jam gadang, jurnalisme sastrawi, salman hasibuan, sumatera barat

About setapak-langkah


Follow Me

Where I've been

Photo Galleries

My trip journals


See all my tags 


 

 

Travel Answers about Indonesia

Do you have a travel question? Ask other World Nomads.